Oleh: Eko Mardiono
A. Pendahuluan
Mengenai perceraian, Islam mengambil posisi tengah-tengah, antara melarang dan membolehkan tanpa batas. Larangan perceraian mungkin sangat ideal tetapi sulit diterapkan. Sebab, pengendalian diri secara mutlak merupakan hal yang mustahil. Menurut ideologi Islam, kaidah hukum yang bersifat melarang hanya diterapkan sejauh manusia bisa mencapainya.[1] Sebaliknya, kebebasan tanpa batas tidak masuk akal dan hanya menimbulkan kemelut, bahaya, dan kerusakan. Hal semacam itu tidak mungkin dibiarkan.[2]
Posisi tengah-tengah Islam ini dapat dipahami dengan melihat kedudukan perkawinan dalam Islam. Perkawinan dalam Islam bukanlah merupakan perbuatan perdata (civil act), juga bukan perjanjian suci (sacramental vow), tetapi sintesis keduanya. Oleh karena itu, perceraian dibolehkan tetapi bukan tanpa batas seperti dalam kontrak bebas. Sebaliknya, juga bukan tidak terputuskan seperti sebuah perjanjian suci.[3]
Islam membenci terjadinya perceraian. Hal ini terlihat dengan adanya sabda nabi Muhammad SAW :
Kalaupun dalam kitab-kitab fikih ada kesan mudah terjadinya talak, misalnya pernyataan talak yang diucapkan sambil mabuk, gurau, atau omong kosong yang kemudian dipertimbangkan beberapa ulama sebagai hal yang absah,[9] dan misalnya keputusan khalifah Umar yang menetapkan bahwa pernyataan talak tiga sekaligus dihukumi jatuh talak tiga yang berarti tidak bisa dirujuk (kembali),[10] semua itu dimaksudkan untuk mendisiplinkan setiap lelaki yang akan mentalak isterinya.
Jelaslah bahwa dalam fikih, perceraian tidak dikehendaki kejadiannya. Demikian juga dengan hukum perkawinan Islam di Indonesia. Di dalamnya ditetapkan asas “mempersukar terjadinya perceraian”.
Asas “mempersukar terjadinya perceraian” ini terlihat dengan adanya ketentuan : (1) perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak, (2) untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri, (3) tata aturan perceraian di depan sidang pengdilan diatur dalam peraturan perundangan sendiri.[11]
Demi asas ini, cerai talak yang asalnya dalam fikih sifat perkaranya mirip volunter ditingkatkan menjadi gugat contentiosa dengan ketentuan: suami sebagai pemohon yang berkedudukan sebagai "penggugat" dan isteri sebagai termohon yang berposisi sebagai "tergugat" dan proses pemeriksaannya berdasar atas asas audi et alteram partem.[12]
B. Identifikasi Permasalahan
Dalam upaya realisasi asas “mempersukar terjadinya perceraian” sebagaimana telah dideskripsikan di depan, maka kalau dicermati dalam satu kasus perceraian, Pengadilan Agama sampai mengeluarkan beberapa produk hukum. Bagi cerai talak, Pengadilan Agama mengeluarkan tiga produk hukum, yaitu (1) putusan, (2) penetapan, dan (3) akta cerai. Sedang bagi cerai gugat, ada dua produk hukum, yaitu (1) putusan dan (2) akta cerai.
Putusan yang juga disebut vonnis (Belanda) atau al-qada’u (Arab), adalah produk Pengadilan Agama karena adanya dua pihak yang berlawanan dalam perkara, yaitu “penggugat” dan “tergugat”. Produk Pengadilan semacam ini biasa diistilahkan dengan “produk peradilan yang sesungguhnya” atau jurisdictio cententiosa.[13]
Sedangkan, penetapan yang disebut al-itsbat (Arab) atau beschiking (Belanda), yaitu produk Pengadilan Agama dalam arti bukan peradilan yang sesungguhnya, yang diistilahkan jurisdictio voluntaria. Dikatakan bukan peradilan yang sesungguhnya karena di sana hanya ada pemohon, yang memohon untuk ditetapkan tentang sesuatu, sedangkan ia tidak berpekara dengan lawan.[14]
Akan tetapi, di lingkungan peradilan agama ada beberapa jenis perkara yang berupa penetapan tetapi ternyata bukan penetapan dalam bentuk voluntaria murni, sehingga penetapan di sini pemohon dan termohon berposisi sebagai “penggugat” dan “tergugat”.[15] Hal ini dikarenakan pemohon ketika menggunakan haknya bisa mendapat perlawanan dari termohon, misalnya permohonan pemohon (suami) agar sidang menyaksikan pengucapan ikrar talak kepada isterinya. Oleh karena itu, dalam kasus ini pengadilan sebelum mengeluarkan penetapan permohonan, terlebih dahulu mengeluarkan putusan “gugatan”, sehingga dalam satu perkara bisa ada beberapa produk peradilan.
Pengadilan Agama setelah mengeluarkan penetapan (bagi cerai talak) dan putusan (bagi cerai gugat) yang kemudian keduanya telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka panitera Pengadilan Agama akan mengeluarkan produk hukum lainnya, yaitu berupa akta cerai.
Adanya beberapa produk hukum ini dalam aplikasinya menimbulkan problema yuridis: mulai kapan seorang perempuan dihitung menjadi janda? Apakah sejak tanggal dikeluarkannya putusan, penetapan, ataukah sejak dikeluarkannya akta cerai? Tampaknya, di kalangan Pelaksana Undang-undang Perkawinan, baik Pegawai Pencatat Nikah, Penghulu, ataupun Pembantu Pegawai Pencatat Nikah, terjadi keragaman dan kerancuan pemahaman. Kondisi seperti ini diperparah lagi oleh (kadang-kadang) ketidaktepatan pihak kepaniteraan Pengadilan Agama dalam membubuhi tanggal dalam akta cerai.
Pengkajian persoalan ini begitu urgen karena berkaitan erat dengan masa tunggu (iddah) seorang janda, yang pada gilirannya nanti menentukan keabsahan perkawinan yang dilaksanakan. Oleh karena itu, sangat mendesak untuk dicarikan solusi yuridisnya.
C. Menghitung Tanggal Menjadi Janda
Untuk menentukan tanggal menjadi janda seorang perempuan guna menghitung mulainya masa iddah, tulisan ini akan menjadikan Lampiran Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1997 Model A.III.3 (blangko Akta Cerai) sebagai bahan kajian dengan menggunakan tiga aspek pendekatan, yaitu (1) gramatikal, (2) format akta, dan (3) yuridis formal.
1. Pendekatan Aspek Gramatikal
Yang dimaksud pendekatan aspek gramatikal di sini ialah pengkajian permasalahan dengan cara menganalisis tatabahasa, jenis, dan susunan kalimat yang digunakan dalam akta cerai. Pendekatan gramatikal ini dilakukan untuk mengetahui mana gagasan pokok atau pesan utama kalimat tersebut dalam akta cerai.
Secara lengkap, redaksi kalimat yang dipakai dalam Model A.III.3 ini adalah sebagai berikut :
“Panitera Pengadilan Agama ……………………..…. menerangkan, bahwa pada hari ini ……………….. tanggal …………………. 20 …. M., bersamaan dengan tanggal ……………………………………...14 ….H., berdasarkan ………………………………………………………………... nomor …………..…………………. tanggal ………………… 20 … M., yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, terjadi perceraian antara : ……………”.
Kalimat di atas menggunakan susunan kalimat majmuk bertingkat. Terdiri dari induk kalimat dan anak kalimat. Induk kalimatnya adalah :
“Panitera Pengadilan Agama ............................................... menerangkan, bahwa pada hari ini ...................... tanggal ……………………. 20 …. M., bersamaan dengan tanggal ………...……………… 14 …. H., terjadi perceraian antara : …………………. “
Sedangkan anak kalimatnya adalah :
“berdasarkan ………………………………………………………………. nomor ………………..……...………. tanggal ……......………. 20 …. M., yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.”
Menurut kaidah tatabahasa Indonesia, yang menjadi pesan utama dalam kalimat majmuk bertingkat adalah pesan yang terkandung dalam induk kalimat, bukan dalam anak kalimat. Pesan dalam anak kalimat hanyalah bagian yang berada di bawah pesan utama induk kalimat sebagai tambahan keterangan.[16]
Apabila anak kalimat dalam akta cerai tersebut diletakkan di awal kalimat, maka kalimat majmuk bertingkat tersebut akan menjadi :
“Berdasarkan ………………………………………………………………. nomor ………………..……...………. tanggal ……......………. 20 …. M., yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, Panitera Pengadilan Agama ................................................... menerangkan, bahwa pada hari ini ...................... tanggal ……………………. 20 …. M., bersamaan dengan tanggal ………...……………… 14 …. H., terjadi perceraian antara : …………………. “
Dengan demikian, terlihat jelas bahwa tanggal terjadinya perceraian adalah tanggal yang tercantum dalam induk kalimat, bukan dalam anak kalimat. Tanggal yang tercantum dalam induk kalimat adalah tanggal terjadinya perceraian sekaligus sebagai tanggal akta cerai, sedangkan tanggal yang tercantum dalam anak kalimat adalah tanggal putusan atau penetapan yang digunakan sebagai dasar pernyataan telah terjadinya perceraian. Jadi, tanggal terjadinya perceraian adalah sama dengan tanggal dikeluarkannya akta cerai. Dengan kata lain, kapan terjadinya perceraiannya? Jawabannya adalah saat dikeluarkan akta cerai.
2. Pendekatan Aspek Format Akta
Pengkajian dengan pendekatan aspek ini adalah penelaahan permasalahan dengan cara menganalisis bentuk dan format akta. Dengan pendekatan aspek ini, akan bisa diketahui kedudukan beberapa tanggal yang tercantum dalam berbagai bagian akta.
Sudah menjadi stándar yang baku bahwa jika diklasifikasikan, sebuah akta terdiri dari tiga bagian : (1) kepala akta, (2) tubuh akta, dan (3) kaki akta. Kepala akta memuat : identitas nama dan alamat pemilik akta (kop), nomor dan tanggal akta. Tubuh akta memuat: isi akta. Sedangkan kaki akta memuat: tempat dan tanggal pembuatan akta, dan nama dan tanda tangan pembuat akta serta tembusan-tembusan. Khusus masalah tanggal pembuatan akta, tanggal akta dapat dimasukkan ke dalam kepala akta dan juga dapat dimasukkan ke dalam kaki akta. Yang jelas, tidak dimasukkan ke dalam tubuh akta.[17]
Kemudian alau dicermati, dalam blangko akta cerai (Model A.III.3) pada kepala dan kaki aktanya tidak terdapat tanggal yang menujukkan tanggal pembuatan akta. Tanggal pembuatan akta justru “dimasukkan” ke dalam tubuh akta. Hal ini terlihat dengan adanya kata-kata “ini” dalam tubuh akta, yaitu : “bahwa pada hari “ini” ………….. tanggal ………………….” Format akta semacam ini menunjukkan bahwa secara formal akta cerai langsung dibuat pada saat itu juga, yaitu ketika sebuah perceraian terjadi.
Dengan demikian, dapat dikonklusikan bahwa tanggal pembuatan akta pasti selalu sama dengan tanggal isi akta, yaitu sama dengan tanggal terjadinya perceraian. Dengan perkataan lain, tanggal terjadinya perceraian adalah sama dengan tanggal dikeluarkannya akta cerai. Hal ini karena tanggal pembuatan akta cerai dimasukkan ke dalam tubuh akta, tidak ke dalam kepala atau kaki akta. Tegasnya, tanggal menjadi jandanya seorang perempuan dari aspek pendekatan ini dihitung sejak tanggal dikeluarkannya akta cerai.
3. Pendekatan Aspek Yuridis Formal
Yang dimaksud pendekatan dengan aspek yuridis formal ini adalah analisis suatu masalah dengan cara merujukkan kembali kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku, baik yang berfungsi sebagai lex spesialis atau lex generalis. Lex spesialis ialah segala peraturan perundang-undangan yang ditetapkan memang diperuntukkan bagi lembaga peradilan agama. Sedangkan, lex generalis adalah segala peraturan perundang-undangan yang ditetapkan untuk semua lembaga peradilan di Indonesia, termasuk untuk Pengadilan Agama.[18]
Menurut Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yakni sebagai lex spesialis, bahwa dalam perkara cerai talak, suatu perceraian dianggap terjadi terhitung sejak dikeluarkannya penetapan. Hal ini sebagaimana diatur dalam pasal 71 ayat 2, bahwa hakim membuat penetapan yang isinya menyatakan bahwa perkawinan putus sejak ikrar talak diucapkan dan penetapan tersebut tidak dapat dimintakan banding atau kasasi.[19] Penetapan ini dikeluarkan setelah putusan sebelumnya telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Yaitu, sebuah putusan yang menetapkan bahwa permohonan untuk mengadakan sidang guna menyaksikan ikrar talak dikabulkan (pasal 70 ayat 1).[20]
Berhubung di satu sisi terjadinya talak dihitung sejak dikeluarkannya penetapan dan di sisi lain tanggal akta cerai dimasukkan ke dalam tubuh akta, maka tanggal pembuatan akta cerai senantiasa sama dengan tanggal penetapan. Jadi, yang harus dijadikan standar tanggal terjadinya perceraian adalah tanggal pembuatan akta, yang selalu sama dengan tanggal penetapan. Walaupun sama, tetapi senantiasa merujukkan kepada tanggal pembuatan akta cerai adalah penting. Sebab jika tidak demikian, maka bisa terjadi kesalahan dan ketidakkonsistenan ketika perceraiannya berupa cerai gugat.
Perlu dicermati pula bahwa bagi cerai gugat, jika gugatan ini dimenangkan oleh pihak penggungat (isteri), maka dikeluarkanlah putusan yang menerangkan bahwa perkawinan antara penggugat dan tergugat putus. Akan tetapi, perceraiannya tidak otomatis terjadi pada saat itu. Pasal 81 ayat 2 menegaskan, "Suatu perceraian dianggap terjadi beserta segala akibat hukumnya terhitung sejak putusan Pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap".[21]
Menurut R.Bg. dan H.I.R. (Hukum Acara Perdata) yang merupakan lex generalis bagi Pengadilan Agama, bahwa suatu putusan pengadilan baru memperoleh kekuatan hukum tetap setelah 14 (empat belas) hari sejak dibacakan putusan itu di muka sidang untuk umum, atau dalam kasus verstek (tanpa kehadiran tergugat/termohon) setelah 14 (empat belas) hari sejak pemberitahuan (R.Bg. : 152 : 1 dan H.I.R: 128).[22]
Dengan demikian, perceraian dianggap terjadi setelah 14 (empat belas) hari sejak tanggal dikeluarkan putusan, atau dalam kasus verstek setelah 14 (empat belas) hari sejak pemberitahuan. Pada saat itulah baru terjadi perceraian dan baru pada saat itu panitera Pengadilan Agama mengeluarkan akta cerai. Hal ini sebagaimana ditetapkan dalam pasal 81 ayat 2 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, “Suatu perceraian dianggap terjadi beserta segala akibat hukumnya terhitung sejak putusan Pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap.”[23]
D. Kesimpulan
1. Tanggal menjadi janda seorang perempuan dihitung sejak dikeluarkannya akta cerai. Yaitu, tanggal yang terletak di bagian atas dalam tubuh akta menurut format blanko akta cerai model A.III.3.
2. Kepaniteraan Pengadilan Agama harus tepat dalam memberikan tanggal akta cerai. Yaitu, tanggal pembuatan akta cerai selalu sama dengan tanggal penetapan (bagi cerai talak), dan selalu sama dengan 14 (empat belas) hari setelah tanggal dikeluarkannya putusan, atau 14 (empat belas) hari sejak pemberitahuan dalam kasus verstek (bagi cerai gugat).
3. Panitera Pengadilan Agama tidak mempunyai pilihan lain dalam memberikan tanggal akta cerai. Tanggal akta harus selalu sama dengan tanggal terjadinya perceraian. Hal ini dikarenakan dalam akta cerai model A.III.3, tanggal pembuatan akta cerai tidak dimasukkan dalam kepala akta atau kaki akta, tetapi justru dimasukkan dalam tubuh akta, yaitu menjadi satu dengan tanggal isi akta. Oleh karenanya, tanggal pengeluaran akta cerai selalu sama dengan tanggal terjadinya perceraian.
4. Masa iddah seorang janda dihitung mulai dari tanggal dikeluarkannya akta cerai.
A. Pendahuluan
Mengenai perceraian, Islam mengambil posisi tengah-tengah, antara melarang dan membolehkan tanpa batas. Larangan perceraian mungkin sangat ideal tetapi sulit diterapkan. Sebab, pengendalian diri secara mutlak merupakan hal yang mustahil. Menurut ideologi Islam, kaidah hukum yang bersifat melarang hanya diterapkan sejauh manusia bisa mencapainya.[1] Sebaliknya, kebebasan tanpa batas tidak masuk akal dan hanya menimbulkan kemelut, bahaya, dan kerusakan. Hal semacam itu tidak mungkin dibiarkan.[2]
Posisi tengah-tengah Islam ini dapat dipahami dengan melihat kedudukan perkawinan dalam Islam. Perkawinan dalam Islam bukanlah merupakan perbuatan perdata (civil act), juga bukan perjanjian suci (sacramental vow), tetapi sintesis keduanya. Oleh karena itu, perceraian dibolehkan tetapi bukan tanpa batas seperti dalam kontrak bebas. Sebaliknya, juga bukan tidak terputuskan seperti sebuah perjanjian suci.[3]
Islam membenci terjadinya perceraian. Hal ini terlihat dengan adanya sabda nabi Muhammad SAW :
أبغض الحلال الى الله الطلاق [4]
dan sabdanya : أيما امرأة سألت زوجها الطلاق فى غيرما بأس فحرام عليها رائحة الجنة [5]
Islam mengizinkan perceraian karena tidak ada jalan lain untuk keluar dari lingkaran ketegangan yang terus menerus terjadi dalam rumahtangga. Lagi pula, setelah dipertimbangkan bahwa bercerai itulah yang lebih baik bagi mereka daripada terus hidup membara kalbu dalam satu rumahtangga.[6] Perceraian itu dibolehkan justru untuk menjawab kebutuhan dasar manusia itu sendiri,[7] yaitu demi kemaslahatan salah satu dari suami isteri, keduanya, atau keduanya bersama anak-anaknya.[8]Kalaupun dalam kitab-kitab fikih ada kesan mudah terjadinya talak, misalnya pernyataan talak yang diucapkan sambil mabuk, gurau, atau omong kosong yang kemudian dipertimbangkan beberapa ulama sebagai hal yang absah,[9] dan misalnya keputusan khalifah Umar yang menetapkan bahwa pernyataan talak tiga sekaligus dihukumi jatuh talak tiga yang berarti tidak bisa dirujuk (kembali),[10] semua itu dimaksudkan untuk mendisiplinkan setiap lelaki yang akan mentalak isterinya.
Jelaslah bahwa dalam fikih, perceraian tidak dikehendaki kejadiannya. Demikian juga dengan hukum perkawinan Islam di Indonesia. Di dalamnya ditetapkan asas “mempersukar terjadinya perceraian”.
Asas “mempersukar terjadinya perceraian” ini terlihat dengan adanya ketentuan : (1) perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak, (2) untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri, (3) tata aturan perceraian di depan sidang pengdilan diatur dalam peraturan perundangan sendiri.[11]
Demi asas ini, cerai talak yang asalnya dalam fikih sifat perkaranya mirip volunter ditingkatkan menjadi gugat contentiosa dengan ketentuan: suami sebagai pemohon yang berkedudukan sebagai "penggugat" dan isteri sebagai termohon yang berposisi sebagai "tergugat" dan proses pemeriksaannya berdasar atas asas audi et alteram partem.[12]
B. Identifikasi Permasalahan
Dalam upaya realisasi asas “mempersukar terjadinya perceraian” sebagaimana telah dideskripsikan di depan, maka kalau dicermati dalam satu kasus perceraian, Pengadilan Agama sampai mengeluarkan beberapa produk hukum. Bagi cerai talak, Pengadilan Agama mengeluarkan tiga produk hukum, yaitu (1) putusan, (2) penetapan, dan (3) akta cerai. Sedang bagi cerai gugat, ada dua produk hukum, yaitu (1) putusan dan (2) akta cerai.
Putusan yang juga disebut vonnis (Belanda) atau al-qada’u (Arab), adalah produk Pengadilan Agama karena adanya dua pihak yang berlawanan dalam perkara, yaitu “penggugat” dan “tergugat”. Produk Pengadilan semacam ini biasa diistilahkan dengan “produk peradilan yang sesungguhnya” atau jurisdictio cententiosa.[13]
Sedangkan, penetapan yang disebut al-itsbat (Arab) atau beschiking (Belanda), yaitu produk Pengadilan Agama dalam arti bukan peradilan yang sesungguhnya, yang diistilahkan jurisdictio voluntaria. Dikatakan bukan peradilan yang sesungguhnya karena di sana hanya ada pemohon, yang memohon untuk ditetapkan tentang sesuatu, sedangkan ia tidak berpekara dengan lawan.[14]
Akan tetapi, di lingkungan peradilan agama ada beberapa jenis perkara yang berupa penetapan tetapi ternyata bukan penetapan dalam bentuk voluntaria murni, sehingga penetapan di sini pemohon dan termohon berposisi sebagai “penggugat” dan “tergugat”.[15] Hal ini dikarenakan pemohon ketika menggunakan haknya bisa mendapat perlawanan dari termohon, misalnya permohonan pemohon (suami) agar sidang menyaksikan pengucapan ikrar talak kepada isterinya. Oleh karena itu, dalam kasus ini pengadilan sebelum mengeluarkan penetapan permohonan, terlebih dahulu mengeluarkan putusan “gugatan”, sehingga dalam satu perkara bisa ada beberapa produk peradilan.
Pengadilan Agama setelah mengeluarkan penetapan (bagi cerai talak) dan putusan (bagi cerai gugat) yang kemudian keduanya telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka panitera Pengadilan Agama akan mengeluarkan produk hukum lainnya, yaitu berupa akta cerai.
Adanya beberapa produk hukum ini dalam aplikasinya menimbulkan problema yuridis: mulai kapan seorang perempuan dihitung menjadi janda? Apakah sejak tanggal dikeluarkannya putusan, penetapan, ataukah sejak dikeluarkannya akta cerai? Tampaknya, di kalangan Pelaksana Undang-undang Perkawinan, baik Pegawai Pencatat Nikah, Penghulu, ataupun Pembantu Pegawai Pencatat Nikah, terjadi keragaman dan kerancuan pemahaman. Kondisi seperti ini diperparah lagi oleh (kadang-kadang) ketidaktepatan pihak kepaniteraan Pengadilan Agama dalam membubuhi tanggal dalam akta cerai.
Pengkajian persoalan ini begitu urgen karena berkaitan erat dengan masa tunggu (iddah) seorang janda, yang pada gilirannya nanti menentukan keabsahan perkawinan yang dilaksanakan. Oleh karena itu, sangat mendesak untuk dicarikan solusi yuridisnya.
C. Menghitung Tanggal Menjadi Janda
Untuk menentukan tanggal menjadi janda seorang perempuan guna menghitung mulainya masa iddah, tulisan ini akan menjadikan Lampiran Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1997 Model A.III.3 (blangko Akta Cerai) sebagai bahan kajian dengan menggunakan tiga aspek pendekatan, yaitu (1) gramatikal, (2) format akta, dan (3) yuridis formal.
1. Pendekatan Aspek Gramatikal
Yang dimaksud pendekatan aspek gramatikal di sini ialah pengkajian permasalahan dengan cara menganalisis tatabahasa, jenis, dan susunan kalimat yang digunakan dalam akta cerai. Pendekatan gramatikal ini dilakukan untuk mengetahui mana gagasan pokok atau pesan utama kalimat tersebut dalam akta cerai.
Secara lengkap, redaksi kalimat yang dipakai dalam Model A.III.3 ini adalah sebagai berikut :
“Panitera Pengadilan Agama ……………………..…. menerangkan, bahwa pada hari ini ……………….. tanggal …………………. 20 …. M., bersamaan dengan tanggal ……………………………………...14 ….H., berdasarkan ………………………………………………………………... nomor …………..…………………. tanggal ………………… 20 … M., yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, terjadi perceraian antara : ……………”.
Kalimat di atas menggunakan susunan kalimat majmuk bertingkat. Terdiri dari induk kalimat dan anak kalimat. Induk kalimatnya adalah :
“Panitera Pengadilan Agama ............................................... menerangkan, bahwa pada hari ini ...................... tanggal ……………………. 20 …. M., bersamaan dengan tanggal ………...……………… 14 …. H., terjadi perceraian antara : …………………. “
Sedangkan anak kalimatnya adalah :
“berdasarkan ………………………………………………………………. nomor ………………..……...………. tanggal ……......………. 20 …. M., yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.”
Menurut kaidah tatabahasa Indonesia, yang menjadi pesan utama dalam kalimat majmuk bertingkat adalah pesan yang terkandung dalam induk kalimat, bukan dalam anak kalimat. Pesan dalam anak kalimat hanyalah bagian yang berada di bawah pesan utama induk kalimat sebagai tambahan keterangan.[16]
Apabila anak kalimat dalam akta cerai tersebut diletakkan di awal kalimat, maka kalimat majmuk bertingkat tersebut akan menjadi :
“Berdasarkan ………………………………………………………………. nomor ………………..……...………. tanggal ……......………. 20 …. M., yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, Panitera Pengadilan Agama ................................................... menerangkan, bahwa pada hari ini ...................... tanggal ……………………. 20 …. M., bersamaan dengan tanggal ………...……………… 14 …. H., terjadi perceraian antara : …………………. “
Dengan demikian, terlihat jelas bahwa tanggal terjadinya perceraian adalah tanggal yang tercantum dalam induk kalimat, bukan dalam anak kalimat. Tanggal yang tercantum dalam induk kalimat adalah tanggal terjadinya perceraian sekaligus sebagai tanggal akta cerai, sedangkan tanggal yang tercantum dalam anak kalimat adalah tanggal putusan atau penetapan yang digunakan sebagai dasar pernyataan telah terjadinya perceraian. Jadi, tanggal terjadinya perceraian adalah sama dengan tanggal dikeluarkannya akta cerai. Dengan kata lain, kapan terjadinya perceraiannya? Jawabannya adalah saat dikeluarkan akta cerai.
2. Pendekatan Aspek Format Akta
Pengkajian dengan pendekatan aspek ini adalah penelaahan permasalahan dengan cara menganalisis bentuk dan format akta. Dengan pendekatan aspek ini, akan bisa diketahui kedudukan beberapa tanggal yang tercantum dalam berbagai bagian akta.
Sudah menjadi stándar yang baku bahwa jika diklasifikasikan, sebuah akta terdiri dari tiga bagian : (1) kepala akta, (2) tubuh akta, dan (3) kaki akta. Kepala akta memuat : identitas nama dan alamat pemilik akta (kop), nomor dan tanggal akta. Tubuh akta memuat: isi akta. Sedangkan kaki akta memuat: tempat dan tanggal pembuatan akta, dan nama dan tanda tangan pembuat akta serta tembusan-tembusan. Khusus masalah tanggal pembuatan akta, tanggal akta dapat dimasukkan ke dalam kepala akta dan juga dapat dimasukkan ke dalam kaki akta. Yang jelas, tidak dimasukkan ke dalam tubuh akta.[17]
Kemudian alau dicermati, dalam blangko akta cerai (Model A.III.3) pada kepala dan kaki aktanya tidak terdapat tanggal yang menujukkan tanggal pembuatan akta. Tanggal pembuatan akta justru “dimasukkan” ke dalam tubuh akta. Hal ini terlihat dengan adanya kata-kata “ini” dalam tubuh akta, yaitu : “bahwa pada hari “ini” ………….. tanggal ………………….” Format akta semacam ini menunjukkan bahwa secara formal akta cerai langsung dibuat pada saat itu juga, yaitu ketika sebuah perceraian terjadi.
Dengan demikian, dapat dikonklusikan bahwa tanggal pembuatan akta pasti selalu sama dengan tanggal isi akta, yaitu sama dengan tanggal terjadinya perceraian. Dengan perkataan lain, tanggal terjadinya perceraian adalah sama dengan tanggal dikeluarkannya akta cerai. Hal ini karena tanggal pembuatan akta cerai dimasukkan ke dalam tubuh akta, tidak ke dalam kepala atau kaki akta. Tegasnya, tanggal menjadi jandanya seorang perempuan dari aspek pendekatan ini dihitung sejak tanggal dikeluarkannya akta cerai.
3. Pendekatan Aspek Yuridis Formal
Yang dimaksud pendekatan dengan aspek yuridis formal ini adalah analisis suatu masalah dengan cara merujukkan kembali kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku, baik yang berfungsi sebagai lex spesialis atau lex generalis. Lex spesialis ialah segala peraturan perundang-undangan yang ditetapkan memang diperuntukkan bagi lembaga peradilan agama. Sedangkan, lex generalis adalah segala peraturan perundang-undangan yang ditetapkan untuk semua lembaga peradilan di Indonesia, termasuk untuk Pengadilan Agama.[18]
Menurut Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yakni sebagai lex spesialis, bahwa dalam perkara cerai talak, suatu perceraian dianggap terjadi terhitung sejak dikeluarkannya penetapan. Hal ini sebagaimana diatur dalam pasal 71 ayat 2, bahwa hakim membuat penetapan yang isinya menyatakan bahwa perkawinan putus sejak ikrar talak diucapkan dan penetapan tersebut tidak dapat dimintakan banding atau kasasi.[19] Penetapan ini dikeluarkan setelah putusan sebelumnya telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Yaitu, sebuah putusan yang menetapkan bahwa permohonan untuk mengadakan sidang guna menyaksikan ikrar talak dikabulkan (pasal 70 ayat 1).[20]
Berhubung di satu sisi terjadinya talak dihitung sejak dikeluarkannya penetapan dan di sisi lain tanggal akta cerai dimasukkan ke dalam tubuh akta, maka tanggal pembuatan akta cerai senantiasa sama dengan tanggal penetapan. Jadi, yang harus dijadikan standar tanggal terjadinya perceraian adalah tanggal pembuatan akta, yang selalu sama dengan tanggal penetapan. Walaupun sama, tetapi senantiasa merujukkan kepada tanggal pembuatan akta cerai adalah penting. Sebab jika tidak demikian, maka bisa terjadi kesalahan dan ketidakkonsistenan ketika perceraiannya berupa cerai gugat.
Perlu dicermati pula bahwa bagi cerai gugat, jika gugatan ini dimenangkan oleh pihak penggungat (isteri), maka dikeluarkanlah putusan yang menerangkan bahwa perkawinan antara penggugat dan tergugat putus. Akan tetapi, perceraiannya tidak otomatis terjadi pada saat itu. Pasal 81 ayat 2 menegaskan, "Suatu perceraian dianggap terjadi beserta segala akibat hukumnya terhitung sejak putusan Pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap".[21]
Menurut R.Bg. dan H.I.R. (Hukum Acara Perdata) yang merupakan lex generalis bagi Pengadilan Agama, bahwa suatu putusan pengadilan baru memperoleh kekuatan hukum tetap setelah 14 (empat belas) hari sejak dibacakan putusan itu di muka sidang untuk umum, atau dalam kasus verstek (tanpa kehadiran tergugat/termohon) setelah 14 (empat belas) hari sejak pemberitahuan (R.Bg. : 152 : 1 dan H.I.R: 128).[22]
Dengan demikian, perceraian dianggap terjadi setelah 14 (empat belas) hari sejak tanggal dikeluarkan putusan, atau dalam kasus verstek setelah 14 (empat belas) hari sejak pemberitahuan. Pada saat itulah baru terjadi perceraian dan baru pada saat itu panitera Pengadilan Agama mengeluarkan akta cerai. Hal ini sebagaimana ditetapkan dalam pasal 81 ayat 2 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, “Suatu perceraian dianggap terjadi beserta segala akibat hukumnya terhitung sejak putusan Pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap.”[23]
D. Kesimpulan
1. Tanggal menjadi janda seorang perempuan dihitung sejak dikeluarkannya akta cerai. Yaitu, tanggal yang terletak di bagian atas dalam tubuh akta menurut format blanko akta cerai model A.III.3.
2. Kepaniteraan Pengadilan Agama harus tepat dalam memberikan tanggal akta cerai. Yaitu, tanggal pembuatan akta cerai selalu sama dengan tanggal penetapan (bagi cerai talak), dan selalu sama dengan 14 (empat belas) hari setelah tanggal dikeluarkannya putusan, atau 14 (empat belas) hari sejak pemberitahuan dalam kasus verstek (bagi cerai gugat).
3. Panitera Pengadilan Agama tidak mempunyai pilihan lain dalam memberikan tanggal akta cerai. Tanggal akta harus selalu sama dengan tanggal terjadinya perceraian. Hal ini dikarenakan dalam akta cerai model A.III.3, tanggal pembuatan akta cerai tidak dimasukkan dalam kepala akta atau kaki akta, tetapi justru dimasukkan dalam tubuh akta, yaitu menjadi satu dengan tanggal isi akta. Oleh karenanya, tanggal pengeluaran akta cerai selalu sama dengan tanggal terjadinya perceraian.
4. Masa iddah seorang janda dihitung mulai dari tanggal dikeluarkannya akta cerai.
Catatan Kaki:
[1] Sebagai misal, al-Baqarah (2) ayat 233 dan 286.
[2] Dr. Hammudah 'Abd al-'Ati, Keluarga Muslim, alih bahasa Anshari Thayib, cet. 1 (Surabaya : PT Bina Ilmu, 1984), hlm. 286.
[3] Ibid., hlm. 286-287.
[4] Al-Imam al-Hafiz al-Musannif Abu Dawud Sulaiman Ibni al-Asy'as as-Sijistani al-Azdi, Sunan Abi Dawud, "Kitab an-Nikah", "Bab fi Karahah at-Talaq", edisi Muhammad Muhyi ad-Din 'Abd al-Hamid, (ttp., Dar al-Fikr, t.t.), juz II : 255, hadis nomor 2178. Ini adalah hadis Ibnu Umar.
[5] al-Hafiz Abu 'Abdillah Muhammad Ibni Yazid al-Qazwini Ibni Majah, Sunan Ibni Majah, "10. Kitab at-Talaq", "21. Bab Karahah al-Khul'I li al-Mar'ah", edisi Muhammad Fuad 'Abd al-Baqi (ttp., 'Isa al-Babi al-Halabi wa Syarikah, t.t.), juz I : 662, hadis nomor 2055. Ini adalah hadis Sauban.
[6] Dr. Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Studi Perbandingan dalam Kalangan Ahlus-Sunnah dan Negara-negara Islam, cet. 1 (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), hlm. 249.
[7] Prof. Dr. T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, cet. 5 (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), hlm. 426.
[8] Al-Ustad asy-Syaikh 'Ali Ahmad al-Jarjawi, Hikmah at-Tasyri' wa falsafatuh (ttp. Dar al-Fikr, t.t.), juz II : 57.
[9] Dr. Ahmad al-Gundur, at-Talaq., hlm. 89 dan 97.
[10] al-Imam al-Qadi Abu Walid Muhammad Ibnu Ahmad Ibni Muhammad Ibni Ahmad Ibni Rusyd al-Qurtubi al-Andalusi, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid (Semarang : Maktabah Usaha Keluarga, t.t.), juz II : 46.
[11] Pasal 39 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
[12] M. Yahya Harahap, S.H. "Materi Kompilasi Hukum Islam" dalam Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U. dkk. (ed), Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia (Yogyakarta : UII Press, 1993), hlm. 91-92.
[13] Drs. H. Roihan A. Rasyid, S.H., Hukum Acara Peradilan Agama (Jakarta : Rajawali Press, 1991), hlm. 195.
[14] Ibid., hlm. 205.
[15] Ibid., hlm. 207.
[16] Dr. Sabarti Akhadiyah, Dra. Maidar G. Arsjad, dan Dra. Sakura H. Ridwan, Pembinaan Kemampuan Menulis Bahasa Indonesia (Jakarta : Erlangga, 1990), hlm. 120.
[17] Dengan sedikit variasi dan lebih rinci, unsur-unsur bagian akta atau surat ini sebagaimana yang dideskripsikan oleh Rasyid dalam menjelaskan isi dan bentuk putusan dan penetapan. Drs. H. Roihan A. Rasyid, Hukum., hlm. 196 dan 206.
[18] Drs. H. Roihan A. Rasyid, S.H. Hukum., hlm. 21
[19] Ibid., hlm.262.
[20] Ibid., hlm. 261.
[21] Ibid., hlm. 265
[22] K. Wantjik Saleh, S.H., Hukum Acara Perdata RBG/HIR (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983), hlm. 22.
[23] Drs. H. Roihan A. Rasyid, S.H. Hukum., 265
[1] Sebagai misal, al-Baqarah (2) ayat 233 dan 286.
[2] Dr. Hammudah 'Abd al-'Ati, Keluarga Muslim, alih bahasa Anshari Thayib, cet. 1 (Surabaya : PT Bina Ilmu, 1984), hlm. 286.
[3] Ibid., hlm. 286-287.
[4] Al-Imam al-Hafiz al-Musannif Abu Dawud Sulaiman Ibni al-Asy'as as-Sijistani al-Azdi, Sunan Abi Dawud, "Kitab an-Nikah", "Bab fi Karahah at-Talaq", edisi Muhammad Muhyi ad-Din 'Abd al-Hamid, (ttp., Dar al-Fikr, t.t.), juz II : 255, hadis nomor 2178. Ini adalah hadis Ibnu Umar.
[5] al-Hafiz Abu 'Abdillah Muhammad Ibni Yazid al-Qazwini Ibni Majah, Sunan Ibni Majah, "10. Kitab at-Talaq", "21. Bab Karahah al-Khul'I li al-Mar'ah", edisi Muhammad Fuad 'Abd al-Baqi (ttp., 'Isa al-Babi al-Halabi wa Syarikah, t.t.), juz I : 662, hadis nomor 2055. Ini adalah hadis Sauban.
[6] Dr. Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Studi Perbandingan dalam Kalangan Ahlus-Sunnah dan Negara-negara Islam, cet. 1 (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), hlm. 249.
[7] Prof. Dr. T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, cet. 5 (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), hlm. 426.
[8] Al-Ustad asy-Syaikh 'Ali Ahmad al-Jarjawi, Hikmah at-Tasyri' wa falsafatuh (ttp. Dar al-Fikr, t.t.), juz II : 57.
[9] Dr. Ahmad al-Gundur, at-Talaq., hlm. 89 dan 97.
[10] al-Imam al-Qadi Abu Walid Muhammad Ibnu Ahmad Ibni Muhammad Ibni Ahmad Ibni Rusyd al-Qurtubi al-Andalusi, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid (Semarang : Maktabah Usaha Keluarga, t.t.), juz II : 46.
[11] Pasal 39 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
[12] M. Yahya Harahap, S.H. "Materi Kompilasi Hukum Islam" dalam Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U. dkk. (ed), Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia (Yogyakarta : UII Press, 1993), hlm. 91-92.
[13] Drs. H. Roihan A. Rasyid, S.H., Hukum Acara Peradilan Agama (Jakarta : Rajawali Press, 1991), hlm. 195.
[14] Ibid., hlm. 205.
[15] Ibid., hlm. 207.
[16] Dr. Sabarti Akhadiyah, Dra. Maidar G. Arsjad, dan Dra. Sakura H. Ridwan, Pembinaan Kemampuan Menulis Bahasa Indonesia (Jakarta : Erlangga, 1990), hlm. 120.
[17] Dengan sedikit variasi dan lebih rinci, unsur-unsur bagian akta atau surat ini sebagaimana yang dideskripsikan oleh Rasyid dalam menjelaskan isi dan bentuk putusan dan penetapan. Drs. H. Roihan A. Rasyid, Hukum., hlm. 196 dan 206.
[18] Drs. H. Roihan A. Rasyid, S.H. Hukum., hlm. 21
[19] Ibid., hlm.262.
[20] Ibid., hlm. 261.
[21] Ibid., hlm. 265
[22] K. Wantjik Saleh, S.H., Hukum Acara Perdata RBG/HIR (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983), hlm. 22.
[23] Drs. H. Roihan A. Rasyid, S.H. Hukum., 265
Tidak ada komentar:
Posting Komentar