• Gedung KUA Kec. Cangkringan
  • Cetak Buku Nikah
  • Bukti Telah Nikah Sah
  • Salah Satu Tupoksi KUA Kec. Cangkringan: Manasik Haji
  • Pembinaan Kaum Rois Pasca Erupsi Merapi 2010

Kamis, 28 April 2011

Izin Poligami Seorang Isteri

Oleh: Eko Mardiono
A. Pendahuluan
Sepenuh hatikah seorang isteri mengizinkan suaminya berpoligami? Pertanyaan ini mengemuka karena semua pernikahan poligami pasti memerlukan izin isteri terdahulu. Di lapangan pun telah terjadi beberapa peristiwa perkawinan poligami. Padahal, Kantor Urusan Agama baru melaksanakannya jika ada izin dari Pengadilan Agama. Pengadilan Agama sendiri baru memberikan izin poligami bila isteri pertamanya terlebih dahulu telah memberikan izinnya. Hal itu berarti bahwa dalam realita telah ada beberapa isteri yang telah memberikan izin poligami kepada suaminya. Namun, persoalannya sekarang adalah apakah pemberian izin isteri itu diberikan secara tulus? Apakah tidak mungkin izin itu mereka berikan karena mereka tidak kuasa menolaknya?
Tulisan ini mencoba untuk memaparkan gambaran dan kondisi seorang isteri ketika ia akan memberikan keputusan izin poligami kepada suaminya. Pemaparan ini dilakukan dengan cara menelusuri kembali dinamika konsultasi keluarga di BP4 (Badan Penasihatan, Pembinaan, dan Pelestarian Perkawinan) Kecamatan. Penelusuran ini pun ditempuh dengan harapan nantinya bisa ditemukan sebab-sebab beserta konteksnya ketika seorang isteri harus memberikan izin kepada suaminya untuk beristeri lebih dari seorang. Uraian dalam tulisan ini sifatnya hanya deskriptif kasuistik sesuai dengan peristiwa yang penulis alami.

B. Demi Nama Baik Keluarga Suami
Ada seorang suami muda yang melakukan pernikahan poligami. Suami muda tersebut baru berusia 22 tahun. Pernikahannya juga baru seumur jagung. Pernikahan pertamanya belum genap berjalan 4 bulan. Pernikahan dengan lebih dari seorang isteri itu bermula dari pergaulan masa mudanya yang melewati batas. Akibatnya, sang pemudi hamil di luar nikah. Entah kenapa, sang pemuda justru menikahi gadis lain. Pemudi itu pun menuntut pertanggungjawaban sang pemuda. Apa boleh dikata, sang pemuda sudah berstatus suami wanita lain. Dari sinilah, peristiwa poligami bermula.
Suami ini, sang pemohon pernikahan poligami, berpenghasilan tidak tetap. Sehari-harinya, ia bekerja sebagai pemain kesenian tradisional, Jathilan. Pada saat itu, tahun 2000, ia hanya mempunyai pendapatan Rp. 250.000,- setiap bulan. Padahal, salah satu syarat mengajukan permohonan poligami adalah mempunyai penghasilan yang cukup untuk menghidupi dua orang isteri dan anak-anaknya. Dalam kasus ini pun muncul beberapa permasalahan serius. Apakah pemuda tersebut akan dibebaskan dari tanggung jawab? Lantas, bagaimana nasib gadis malang yang telah dihamilinya beserta anaknya? Persoalan-persoalan seputar inilah yang dikonsultasikan kepada BP4 Kecamatan.
Saya pun sebagai konsultan BP4 mencoba untuk mengemukakan beberapa alternatif solusi dengan berbagai konsekuensinya. Pertama, tetap menjaga keutuhan keluarga monogami. Masalah anak yang lahir di luar nikah sebagaimana menurut hukum yang berlaku, ia dinasabkan kepada ibunya. Lalu, sebagai bentuk pertangungjawaban dan jika ibunya menghendaki, hak asuh (hadhanah) anaknya dipindahkan kepada lelaki yang menghamilinya. Suatu saat nanti, pemudi yang terlanjur hamil pranikah itu dapat melangsungkan pernikahan dengan lelaki lain. Kedua, keputusannya dikembalikan kepada isteri pertama. Bila isteri sahnya ini sudah tidak mau lagi menerima suaminya karena ia telah merasa dikhianati suaminya, maka isteri tersebut dapat menempuh jalur perceraian. Setelah bercerai nanti, pemuda tersebut lantas dimintai pertanggungjawaban untuk menikahi pemudi yang telah dihamilinya. Solusi kedua ini pun bisa menjadikan semua pihak mendapatkan status hukum dan sosial yang jelas. Ketiga, alternatif terakhir, yakni menempuh pernikahan poligami sebagaimana yang dikehendaki suami. Namun, alternatif ketiga ini akan membawa beberapa konsekuensi serius.
Setelah bermusyawarah, para pihak pun bersepakat untuk memilih alternatif ketiga, yakni poligami. Dalam pengambilan keputusan poligami ini ada beberapa pertimbangan yang cukup menarik. Ternyata, semua pihak menyadari bahwa penghasilan suami tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan kedua isteri dan anak-anaknya. Penghasilannya hanya Rp. 250.000,- setiap bulan. Untuk mengatasinya, orang tua suami dan orang tua calon isteri kedua menyanggupi akan ikut menanggung beban ekonomi keluarga poligami itu. Selain itu, yang juga menarik, pertimbangan isteri pertama dalam memberikan izin poligami adalah demi menjaga nama baik keluarga suaminya. Pertimbangan itu tidak didasarkan pada kepentingan atau kebaikan keluarganya sendiri. Demi menutupi aib keluarga suami, ia pun rela mengizinkan suaminya berpoligami.
Ada juga pertimbangan lain yang sempat terungkap. Ternyata, alternatif pernikahan poligami lebih dipilih adalah demi mencarikan kejelasan status anak yang dikandung. Jangan sampai anak yang bersangkutan lahir tanpa ayah yang sah. Masalah bagaimana keberlangsungan pernikahan poligami selanjutnya dipikirkan belakangan. Kalaupun seandainya di tengah perjalanan pernikahannya bubar, toh semua pihak telah mendapatkan status hukum dan sosial yang jelas.
Kenyataannya pun menunjukkan, bahwa setelah dilangsungkannya pernikahan poligami dan sesaat setelah isteri kedua melahirkan anaknya, isteri muda itu pun lantas pergi ke Malaysia menjadi Tenaga Kerja Wanita (TKW). Sejak itu pula komunikasi antara dia dan suaminya terputus. Anak semata wayangnya diserahkan kepada kakek dan neneknya, justru tidak kepada ayah kandungnya. Yang terpenting bagi mereka, anak yang tidak berdosa itu mempunyai ayah dan ibu yang sah dan diakui oleh negara.
Memang, dalam kasus seperti ini isteri pertama dalam posisi yang sangat dilematis. Bila ia tidak mengizinkan suaminya berpoligami, bagaimana dengan nasib anak dan gadis yang telah dihamili suaminya. Sebaliknya, jika ia mengizinkan suaminya berpoligami, siapkah ia menerima kenyataan itu? Kalau pun seandainya ia menempuh alternatif bercerai, sudah siapkan ia hidup menjadi seorang janda? Persoalan-persoalan itulah yang berkecamuk di pikiran sang isteri yang harus membuat keputusan segera. Akhirnya, demi nasib sesama kaumnya dan demi nama baik keluarga suaminya, isteri itu pun mengizinkan suaminya berpoligami.

C. Khawatir Suami Berbuat Dosa
Pekerja cleanning servis pun berpoligami. Pekerja itu berpenghasilan Rp. 400.000,- setiap bulan. Peristiwa ini terjadi di penghujung akhir tahun 2005. Pertimbangan utama istri pertama memberikan izin poligami kepada suaminya adalah karena ia khawatir suaminya berbuat dosa. Kekhawatiran ini muncul setelah suaminya berkenalan dengan seorang janda beranak satu. Padahal sebenarnya hubungan antara suami dan janda itu belum begitu jauh dan belum sampai melanggar norma-norma agama dan susila.
Oleh karenanya, ketika mereka datang ke BP4 Kecamatan, saya tawarkan sebuah solusi. Mereka saya sarankan, sebaiknya rencana poligami tersebut diurungkan saja. Dalam kasus seperti itu, sangat tidak beralasan suami mengajukan permohonan poligami. Adalah sesuatu yang wajar apabila seorang laki-laki tertarik kepada lawan jenisnya. Merupakan sesuatu yang normal jika kaum Adam menganggumi kaum Hawa. Begitu juga sebaliknya. Memang, Allah swt sudah menitahkan umat manusia itu tertarik kepada lawan jenisnya, harta benda, dan perhiasan dunia lainnya. Namun persoalannya, apakah ketertarikan tersebut harus dituruti begitu saja tanpa kendali? Sudah barang tentu tidak.
Sebenarnya kehidupan rumahtangga keluarga yang akan berpoligami ini tergolong wajar-wajar saja. Mereka telah dikaruniai dua orang anak. Istrinya pun mampu menunaikan kewajibannya, begitu juga suaminya. Hak dan kewajiban mereka juga terpenuhi. Walaupun penghasilan mereka setiap bulan hanya Rp. 400.000,-, tetapi mereka sudah merasa cukup. Mereka juga tidak mendapatkan penyakit atau cacat badan tetap. Akan tetapi, mengapa mereka akan berpoligami dan tetap bersikukuh akan tetap melangsungkannya? Oleh karena itu, berhubung mereka sudah tidak mau dicegah, mereka pun saya buatkan surat pengantar ke Pengadilan Agama setempat untuk mendaftarkan sidang permohonan pernikahan poligami.
Setelah menjalani beberapa kali sidang, ternyata permohonan pernikahan poligami itu dikabulkan. Padahal, secara jelas permohonan poligami itu tidak memenuhi persyaratan sebagaimana yang ditetapkan oleh UU Nomor 1 Tahun 1974 dan PP Nomor 9 Tahun 1975. Majlis hakim yang menyidangkannya pun mengakui akan hal itu. Secara ekplisit dalam putusan itu dinyatakan bahwa:
“Menimbang, bahwa permohonan izin poligami pemohon meskipun tidak terpenuhi syarat-syarat izin poligami sebagaimana pasal 4 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 jo pasal 41 PP Nomor 9 Tahun 1975, namun hal ini dilakukan demi kemaslahatan Pemohon, Termohon I, dan Termohon II karena pada dasarnya Termohon I rela dimadu dan Pemohon sanggup berlaku adil dan mempunyai nafkah yang cukup, maka permohonan pemohon akan lebih besar mudhorotnya apabila hal itu ditolak sesuai kaidah: menolak kerusakan didahulukan daripada mendapatkan kemaslahatan.”

Pertanyaannya sekarang adalah apa pertimbangannya sehingga majlis hakim mengabulkan permohonan poligami walaupun tidak memenuhi persyaratan peraturan perundangan? Sebagaimana terbaca dalam putusan, ternyata pertimbangan utama hakim adalah demi kemaslahatan bersama, baik bagi Pemohon, Termohon I, ataupun Termohon II. Selain itu, sebagaimana tertera dalam “Tentang Pertimbangan Hukum”nya, hakim juga mempertimbangkan bahwa suami dikhawatirkan akan berbuat yang bertentangan dengan hukum dan ketentuan agama.
Bagi saya, penggalian hukum oleh hakim ini sangatlah menarik untuk dicermati. Tampaknya, hakim berpandangan bahwa seandainya permohonan poligami ini tidak dikabulkan, maka yang akan terjadi adalah tiga kemungkinan. Pertama, suami tadi akan menjaga diri untuk tidak lagi mendekati janda calon isteri keduanya. Namun, tampaknya naluri hakim mengatakan lain, bahwa yang terjadi pasti tidak demikian. Yang akan terjadi justru dua kemungkinan berikutnya. Yaitu, sebagai kemungkinan kedua, bahwa suami itu justru akan menempuh pernikahan poligami sirri, atau sebagai kemungkinan yang ketiga, bahwa suami tersebut malah akan melakukan kumpul kebo.
Dari sini, tampaknya pertimbangan yang digunakan oleh majlis hakim dan isteri pertama adalah sama. Yaitu, sama-sama mengkhawatirkan terjadinya dua kemungkinan terakhir. Suami dikhawatirkan akan melanggar hukum dan ketentuan agama. Seakan tiada guna apabila suami yang sudah bersikukuh akan berpoligami tidak dizinkan permohonannya. Pasti, suami itu akan menggunakan caranya sendiri, melakukan poligami sirri atau kumpul kebo.
Dalam kasus seperti ini, untuk menjaga keutuhan rumahtanggannya adakah pilihan lain bagi isteri pertama selain memberikan izin kepada suaminya untuk berpoligami? Di sinilah letak pengorbanan besar seorang isteri dalam upayanya menjaga keutuhan sebuah keluarga. Kalau demikian, tidak terpaksakah isteri tersebut dalam memberikan izin poligami kepada suaminya?


D. Ternyata, Tidak Hanya Karena untuk Menyantuni Anak Yatim
Pada akhir tahun 2008 ada seorang laki-laki datang ke BP4 Kecamatan, tempat saya bertugas. Lelaki tadi datang tidak sendirian. Ia bersama seorang perempuan berumur 35 tahunan. Mereka kelihatan serasi dan harmonis, bahkan sedikit mesra. Sesaat setelah duduk, lelaki tadi pun segera memberitahukan maksud kedatangannya. Ia berkonsultasi bahwa dirinya akan melakukan pernikahan poligami. Ia pun bertanya tentang seluk-beluk dan persyaratan pernikahan poligami di Kantor Urusan Agama Kecamatan. Ia juga bertanya tentang pernikahan sirri, termasuk poligami sirri.
Saya pun segera menjelaskan secara panjang lebar tentang dampak buruk dan madarat dari pernikahan sirri, terutama bagi pihak perempuan dan anak-anak yang dilahirkannya. Kepadanya, saya lontarkan sebuah pertanyaan, mengapa harus memilih nikah sirri? Apa sulitnya melaksanakan pernikahan secara resmi di Kantor Urusan Agama? Saya juga menginformasikan, selama persyaratannya sudah lengkap, maka pernikahannya akan dapat dilaksanakan. Kalaupun di Kantor Urusan Agama ada beberapa persyaratan, itu adalah demi kebaikan bagi yang bersangkutan, yaitu supaya pernikahannya mempunyai kekuatan hukum.
Lelaki itu pun mengulangi lagi maksud kedatangannya ke BP4 Kecamatan bahwa ia akan beristeri lebih dari seorang. Pertimbangan utamanya adalah agar ia bisa menyantuni anak-anak yatim. Dengan poligami, ia akan bisa ikut merawat dan mengasuh mereka sebab ibunya adalah seorang janda tinggal mati yang berpenghasilan tidak tetap. Mereka sangat membutuhkan uluran tangan untuk menyongsong masadepannya. Menurut pengakuan suami tadi, isteri pertamanya juga sudah menyetujui dan memberikan izin.
Orang perempuan yang sejak tadi mendampingi laki-laki itu menganggukkan kepala. Katanya, “Ya, sebagai isteri pertama, saya setuju dan rela suami saya menikah lagi.” Saya terperanjat. Perempuan cantik dan tampak masih muda itu ternyata isteri pertama dari lelaki yang berada di hadapan saya. Sebelumnya, saya mengira dialah calon isteri keduanya. Dalam pikiran saya timbul tanda tanya, mengapa pasangan suami isteri yang kelihatan begitu harmonis dan serasi akan berpoligami? Betulkah niat dan tujuan suami itu berpoligami adalah hanya untuk menyantuni anak yatim? Kalau tujuannya memang demikian, haruskah dengan cara menikahi ibu dari anak-anak yatim itu?
Saya pun mengapresiasi tujuan mereka. Saya katakan kepada mereka, “Sangatlah mulia apabila Bapak dan Ibu berkenan untuk menyantuni anak-anak yatim. Sebetulnya niat luhur Bapak dan Ibu ini dapat direalisasikan dengan cara mengasuh anak-anak yatim itu dengan hak hadhanah melalui Pengadilan Agama. Memang, hak hadhanah ini tidak sampai menimbulkan hubungan waris mewaris, tetapi Kompilasi Hukum Islam di Indonesia memberikan porsi warisan bagi anak hadhanah melalui lembaga wasiat wajibah. Jadi, hak anak hadhanah pun dijamin oleh peraturan perundangan. Dengan demikian, Bapak dan Ibu tetap bisa menyantuni anak-anak yatim tanpa harus menempuh pernikahan poligami.”
Setelah saya menyampaikan tentang alternatif hadhanah anak, lelaki tadi pun kemudian menyampaikan apa adanya alasan-alasan mengapa ia akan berpoligami. Ternyata, selain alasan sebagaimana yang disebutkan di atas, ia akan berpoligami juga karena ia menginginkan keturunan lagi. Padahal, isteri pertamanya sudah tidak mau lagi mengandung dan melahirkan anak. Untuk diketahui saja, sebenarnya isteri pertama itu sudah memberikan suaminya dua orang anak.
Semula saya mengira bahwa rencana poligami ini memang murni untuk menyantuni anak-anak yatim. Saya menduga, tidak ada persoalan di antara kedua suami isteri itu. Akan tetapi, setelah terungkap, ternyata ada permintaan suami yang dibebankan kepada isterinya. Yaitu, isteri pertama dituntut untuk mau mengandung dan melahirkan anak lagi. Kalau isteri pertama tidak mau, maka suami akan menempuh pernikahan poligami. Dari sini saya menjadi tahu bahwa ternyata rencana pernikahan poligami lelaki tersebut tidak murni didasarkan pada keinginan untuk menyantuni anak-anak yatim, tetapi ada satu tuntutan yang harus dipenuhi oleh isteri pertamanya, yaitu mau mengandung dan melahirkan anak lagi.
Walaupun akan dimadu, isteri pertama itu begitu setia mengantar dan mendampingi suaminya dalam mencari persyaratan pernikahan poligami, mulai dari RT, RW, kepala dusun, kelurahan, KUA, sidang Pengadilan Agama, sampai kembali ke KUA lagi untuk mendaftarkan dan melangsungkan pernikahan poligami. Apa sebabnya dan mengapa hal itu bisa terjadi? Ternyata, setelah saya mencari informasi dari penduduk sekitarnya, hal itu dikarenakan kedua suami isteri tersebut mengikuti kelompok pengajian tertentu, sehingga isteri pertama itu bersikap dan bertindak seperti itu. Saya tidak tahu persis kelompok pengajian apa yang mereka ikuti. Melihat cara mereka berbusana, sebenarnya tidak ada yang eksklusif. Isteri pertama tersebut berpenampilan santun dan berpakaian “nasional”, tidak berjilbab apalagi bercadar.
Kemudian, pada saat pelaksanaan ijab qabul pernikahan poligami dilangsungkan, isteri pertama tersebut juga menghadirinya. Memang, akad nikahnya hanya dilaksanakan di balai nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan. Tidak banyak yang menghadiri. Hanya ada satu orang wali dan dua orang saksi. Dalam pelaksanaan akad nikah itu, saya pun memperhatian. Isteri pertama itu duduk agak ke belakang. Padahal ada beberapa kursi di depan yang kosong. Ia hanya diam dan tampak begitu tegar. Begitu saya melafazkan kalimat ijab, suaminya selesai mengucapkan kalimat qabul, dan saya sebagai penghulu menyatakan pernikahannya sudah absah, saya perhatikan, isteri pertama itu pun meneteskan airmata. Akan tetapi, saya tidak tahu apakah itu airmata kebahagiaan sebab ia telah berhasil mengantarkan suaminya berpoligami, ataukah karena ia merasa bahwa sejak saat itu suaminya sudah tidak lagi menjadi miliknya seorang. Sudah ada perempuan lain yang juga ikut memilikinya. Tentunya, hanya dia lah yang mengetahuinya.

E. Penutup
Berdasarkan pengalaman beberapa peristiwa konsultasi pernikahan poligami sebagaimana dipaparkan di depan, ternyata pemberian izin poligami oleh isteri pertama kepada suaminya tidak dapat terlepas dari situasi dan kondisi yang melingkupi. Bahkan, dalam banyak kasus, isteri pertama senantiasa dihadapkan pada pilihan yang sangat dilematis. Akhirnya, demi menjaga keutuhan rumahtangga dan pertimbangan-pertimbangan lain, banyak isteri pertama yang tidak mempunyai pilihan lain kecuali memberikan izin poligami bagi suaminya.
Sumber: ekomardion

Artikel Terkait:

1 komentar:

  1. artikelnya ngga jelas , sebenarnya kalau masalah nafkah itu orang monogami juga banyak yag pengangguran

    BalasHapus