• Gedung KUA Kec. Cangkringan
  • Cetak Buku Nikah
  • Bukti Telah Nikah Sah
  • Salah Satu Tupoksi KUA Kec. Cangkringan: Manasik Haji
  • Pembinaan Kaum Rois Pasca Erupsi Merapi 2010

Jumat, 03 Juni 2011

Optimalisasi Potensi Zakat di Indonesia

Oleh: Eko Mardiono
Tahun 2009 yang lalu pernah dicanangkan oleh Pemerintah  sebagai Tahun Ekonomi Kreatif. Pencanangan ini dilakukan dalam rangka menghadapi resesi ekonomi global. Semua potensi bangsa pun dicoba untuk diberdayakan secara maksimal, termasuk potensi zakat. Menurut BAZNAS, potensi zakat di Indonesia sebesar 19 triliun Rupiah. Menteri Agama, Maftuh M. Basyuni, dalam rapat Panitia Ad Hoc Dewan Perwakilan Daerah pada Selasa, 24 Februari 2009, memberikan beberapa catatan penting tentang pemberdayaan zakat di Indonesia. Menurutnya, walaupun Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat telah berumur 9 tahun tetapi belum terberdayakan secara optimal.
Oleh karena itu, demikian Basyuni, Undang-undang tentang Pengelolaan Zakat perlu direvisi. Ada beberapa hal yang perlu diupayakan untuk dimasukkan dalam undang-undang yang baru. Pertama, umat Islam yang sudah mampu mengeluarkan zakat (muzakki) akan dikenai sanksi bila ia tidak menunaikannya. Kedua, Badan Amil Zakat (BAZ) akan dijadikan sebagai satu-satunya lembaga pengelola zakat dari tingkat nasional sampai tingkat desa/kelurahan. Ketiga, akan diimplementasikan sebuah ketentuan bahwa pengeluaran zakat dikurangkan terhadap beban kewajiban pajak. Persoalannya sekarang adalah bagaimana potensi zakat di Indonesia ke depan diformulasikan agar dapat diterima oleh semua kalangan?

Jika dicermati, sebenarnya Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 dalam memberdayakan potensi zakat lebih menekankan pada aspek profesionalitas, kredibilitas, dan akuntabilitas pengelola zakat daripada memberikan sanksi bagi muzakki yang tidak menunaikan kewajibannya. Dengan model pendekatan ini, diharapkan para muzakki akan menjadi berbondong-bondong untuk menyalurkan zakatnya. Hal ini karena tidak semua muzakki yang enggan mengeluarkan zakat disebabkan oleh ketidaksadaran tentang ajaran agamanya. Banyak di antara mereka yang telah mengamalkannya. Hanya saja, mereka lebih memilih lembaga atau caranya sendiri yang mereka yakini bisa menjadikan zakatnya sampai pada sasarannya.

Oleh sebab itu, kalaupun dalam revisi Undang-undang tentang Zakat ini diusulkan agar para muzakki yang enggan mengeluarkan zakatnya diberi sanksi, maka persoalannya yang paling krusial adalah bagaimana pihak pemerintah mampu menyakinkan publik bahwa dana zakat mereka akan dikelola secara amanah dan profesional. Pencitraan dan pembuktian oleh Pemerintah ini menjadi semakin signifikan setelah dalam Undang-undang yang baru juga diusulkan agar BAZ dijadikan sebagai satu-satunya pengelola zakat. Padahal, realita menunjukkan bahwa Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang dikelola oleh swasta lebih diminati para muzakki daripada BAZ. LAZ dinilai lebih kreatif, inovatif, dan profesional. Sebaliknya, masih diingat oleh bangsa ini, ada beberapa Surat Keputusan Bupati (BAZDA) tentang pembayaran zakat profesi di daerah yang didemo oleh para muzakkinya. Melihat realita sosial ini, eksistensi LAZ yang telah tumbuh dan berkembang subur di masyarakat tentu perlu tetap diakomodir. Yang justru mendesak untuk ditegaskan adalah siapa yang menjadi regulator dan operator. Sehingga, BAZ dan LAZ dapat berjalan sinergis.

Issu mengenai pengeluaran zakat dikurangkan terhadap beban kewajiban pajak adalah sesuatu yang sangat positif. Memang di kalangan pakar hukum Islam terjadi diskusi yang panjang, apakah seorang muslim akan dikenai beban salah satu dari zakat dan pajak atau keduanya. Dalam catatan Qardawi, beberapa ulama mendukung pengintegrasian zakat-pajak, tetapi baru pada batas idealita. Imam Nawawi dari mazhab Syafi’i, Imam Ahmad, dan Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa membayar pajak dengan niat zakat dibolehkan, dan karenanya kaum Muslim cukup membayar pajak. Sementara itu, Ibn Hajar al-Haysyami dari mazhab Syafi’i, Ibn Abidin dari mazhab Hanafi, dan Syekh Ulaith dari mazhab Maliki berpendapat sebaliknya, dan karenanya pembayaran pajak tidak menggugurkan kewajiban zakat.

Upaya pengintegrasian zakat dan pajak yang komprehensif pernah dilakukan oleh Masdar Farid Mas’udi. Masdar dalam bukunya Agama Keadilan, Risalah Zakat (pajak) dalam Islam mengajukan tesis penyatuan keduanya untuk mewujudkan cita agama kerakyatan. Ia menawarkan kerangka filosofis dan epistemologis yang dapat diimplementasikan secara lebih konkret dalam kebijakan fiskal. Tidak perlu dikhawatirkan kebijakan pengintegrasian keduanya akan mengakibatkan penurunan pendapatan negara dari sektor pajak. Kebijakan fiskal ini justru bisa meningkatkan kesadaran masyarakat dalam membayar pajak. Kesadaran membayar zakat yang dilandasi motivasi ajaran agama dengan sendirinya akan memacu kesadaran membayar pajak. Zakat tertunaikan, pajak terbayarkan, dan masyarakat pun tidak terkenai beban ganda.

Dalam proses revisi Undang-undang tentang Pengelolaan Zakat, memperhatikan dinamika sosial keagamaan masyarakat sangatlah urgen. Undang-undang tentang Zakat yang baru akan menjadi responsif apabila proses pembuatannya bersifat partisipatif dan aspiratif. Dinilai partisipasif jika ia mengundang sebanyak-banyaknya partisipasi masyarakat melalui kelompok-kelompok sosial dan individu di dalam masyarakat. Dinyatakan aspiratif bila ia memuat materi-materi yang secara umum sesuai dengan aspirasi atau kehendak masyarakat yang dilayaninya, sehingga produk hukumnya dapat dipandang sebagai kristalisasi dari kehendak masyarakat. Berbeda dengan Undang-undang yang konservatif, ia bersifat sentralistik, dalam arti ia lebih didominasi oleh lembaga negara, terutama pemegang kekuasaan eksekutif. Selain itu, ia juga bersifat positivis-instrumentalis, artinya ia memuat materi yang lebih merefleksikan visi sosial dan politik pemegang kekuasaan atau memuat materi yang lebih merupakan alat untuk mewujudkan kehendak dan kepentingan program pemerintah.Lantas, bagaimana nanti hasil revisi Undang-undang tentang Pengelolaan Zakat yang sekarang sedang digodog di lembaga legislatif, apakah ia bersifat responsif atau konservatif? Semuanya akan berpulang kepada para legislator dan pembuat kebijakan. Yang pasti, zakat merupakan salah satu multiplier ekonomi bangsa yang sangat potensial. Ia bisa dijadikan sebagai salah satu solusi dalam menghadapi resesi ekonomi global.

Artikel Terkait:

2 komentar:

  1. Sayangnya optimalisasi BAZ di tingkat kecamatan-kecamatan masih belum segencar di tingkat yang semakin atas. Agaknya, energi para Bapak/Ibu yang diatas sana perlu lebih dikerahkan lagi ke bawah.

    BalasHapus
  2. ....dan lebih daripada itu, tampaknya BAZ Kecamatan hanya akan difungsikan sbg UPZ (Unit Pengumpul Zakat)bagi BAZ di tingkat atasnya.

    BalasHapus