• Gedung KUA Kec. Cangkringan
  • Cetak Buku Nikah
  • Bukti Telah Nikah Sah
  • Salah Satu Tupoksi KUA Kec. Cangkringan: Manasik Haji
  • Pembinaan Kaum Rois Pasca Erupsi Merapi 2010

Sabtu, 08 Desember 2012

Talak di Luar Pengadilan

Oleh: Eko Mardiono
Khalayak digegerkan beredarnya berita bahwa ada seorang pejabat publik yang menceraikan isterinya lewat SMS (Short Message System). Akad nikahnya pun dilaksanakan secara sirri. Usia perkawinannya tidak lebih dari 4 hari. Usia isterinya juga belum genap 18 tahun (termasuk anak di bawah umur). Sehingga, sang Pejabat diidentifikasi telah melanggar berbagai peraturan perundangan. Ia telah melanggar UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dan UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Perdagangan Orang serta melanggar moral etika yang seharusnya seorang pejabat mampu menjadi suri tauladan.
Nikah sirri dan cerai via SMS seperti itu jelas akan berdampak negatif terhadap pihak yang lemah, terutama perempuan dan anak. Hak yang paling asasi mereka bisa terabaikan. Persoalan krusial ini sangatlah urgen untuk dikritisi mengingat beberapa saat yang lalu umat manusia baru saja memperingati Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan, yaitu pada 25 November 2012 dan juga akan memperingati Hari Hak Asasi Manusia pada 10 Desember 2012.
Terkait dengan perceraian (talak) via SMS yang menghebohkan ini, ada satu hasil ijtima’ ulama Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang sangat penting untuk dicermati. Hasil ijtima’ ulama itu dikhawatirkan justru akan berkontribusi besar terhadap maraknya perceraian yang dilakukan oleh suami secara sepihak. Sebagaimana siaran persnya pada 1 Juli 2012, MUI menyatakan bahwa talak di luar pengadilan hukumnya sah. Masa iddah (masa tunggu)-nya pun  dihitung sejak suami menjatuhkan talak di luar pengadilan tersebut. MUI hanya mengharuskan para pihak untuk melaporkan (ikhbar) perceraiannya ke Pengadilan Agama.
Memang, MUI mensyaratkan talak di luar pengadilan harus mempunyai alasan syar’i yang kebenarannya dapat dibuktikan di pengadilan. MUI memang juga merekomendasikan agar pemerintah bersama ulama melakukan edukasi kepada masyarakat untuk memperkuat lembaga pernikahan dan tidak mudah menjatuhkan talak. Selain itu, MUI memang juga mengharuskan bahwa jika suami menceraikan istrinya, maka ia harus menjamin hak-hak istri yang diceraikan itu dan hak anak-anak mereka.
Namun, realita membuktikan bahwa pengakuan keabsahan perceraian (talak) di luar pengadilan justru menyuburkan perceraian secara sepihak oleh suami. Isteri yang berada dalam posisi yang lemah tidak mempunyai daya tawar yang sebanding. Nantinya, Pengadilan Agama pun hanyalah berfungsi sebagai pemberi stempel (legal formal) terhadap perceraian (talak) yang telah terjadi di luar sidang. Suami dan isteri yang bersangkutan akan memahami bahwa mereka secara agama ---sebagaimana menurut MUI---  telah absah bercerai. Mereka datang ke Pengadilan Agama hanyalah untuk menyampaikan laporan (ikhbar).
Menurut hemat penulis, hasil Ijtima’ Ulama tentang Talak di Luar Pengadilan ini merupakan langkah mundur dalam pembangunan hukum Islam di Indonesia. Selama ini menurut hukum Islam di Indonesia sebagaimana diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), UU Perkawinan, dan UU Peradilan Agama, perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan. Itu pun harus ada cukup alasan, bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri  (pasal 39 UU Perkawinan).
Dalam hal ini, MUI tampak kembali ke pemahaman fikih klasik, bahwa suami mempunyai hak mutlak untuk menjatuhkan talak kapan pun dan di mana pun, bahkan tanpa seorang saksi pun. Hal itu berbeda dengan Hukum Islam (peraturan perundangan) di Indonesia, bahwa cerai talak yang asalnya dalam fikih klasik sifat perkaranya mirip volunter ditingkatkan menjadi gugat contentiosa dengan ketentuan: suami sebagai pemohon yang berkedudukan sebagai "penggugat" dan isteri sebagai termohon yang berposisi sebagai "tergugat" dan proses pemeriksaannya berdasar atas asas audi et alteram partem.
Dengan model dan sistem pembaharuan Hukum Islam di Indonesia seperti ini, maka kepentingan kedua belah pihak, terutama isteri dan anak, bisa lebih terlindungi. Sehingga, perceraian di luar pengadilan apalagi lewat SMS diharapkan tidak terjadi lagi karena umat sudah tercerahkan bahwa cerai (talak) di luar pengadilan hukumnya adalah tidak sah dan tidak mempunyai kepastian hukum. Wallahu a’lam.

Artikel Terkait:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar