Oleh: Eko Mardiono
Khalayak digegerkan beredarnya berita bahwa ada seorang pejabat publik yang menceraikan isterinya lewat SMS (Short Message System). Akad nikahnya pun dilaksanakan secara sirri. Usia perkawinannya tidak lebih dari 4 hari. Usia isterinya juga belum genap 18 tahun (termasuk anak di bawah umur). Sehingga, sang Pejabat diidentifikasi telah melanggar berbagai peraturan perundangan. Ia telah melanggar UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dan UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Perdagangan Orang serta melanggar moral etika yang seharusnya seorang pejabat mampu menjadi suri tauladan.
Khalayak digegerkan beredarnya berita bahwa ada seorang pejabat publik yang menceraikan isterinya lewat SMS (Short Message System). Akad nikahnya pun dilaksanakan secara sirri. Usia perkawinannya tidak lebih dari 4 hari. Usia isterinya juga belum genap 18 tahun (termasuk anak di bawah umur). Sehingga, sang Pejabat diidentifikasi telah melanggar berbagai peraturan perundangan. Ia telah melanggar UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dan UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Perdagangan Orang serta melanggar moral etika yang seharusnya seorang pejabat mampu menjadi suri tauladan.
Nikah sirri dan cerai via SMS
seperti itu jelas akan berdampak negatif terhadap pihak yang lemah, terutama perempuan
dan anak. Hak yang paling
asasi mereka bisa terabaikan. Persoalan
krusial ini sangatlah
urgen untuk dikritisi mengingat beberapa saat yang lalu umat manusia baru
saja memperingati
Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan, yaitu pada 25 November 2012 dan juga
akan memperingati Hari Hak Asasi Manusia pada 10 Desember 2012.
Terkait
dengan perceraian (talak) via SMS yang menghebohkan ini, ada satu hasil ijtima’
ulama Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang sangat penting untuk dicermati. Hasil
ijtima’ ulama itu dikhawatirkan justru akan berkontribusi besar terhadap maraknya perceraian yang
dilakukan oleh suami secara sepihak. Sebagaimana siaran persnya pada 1 Juli
2012, MUI menyatakan bahwa talak di luar pengadilan hukumnya sah. Masa iddah
(masa tunggu)-nya pun dihitung sejak
suami menjatuhkan talak di luar pengadilan tersebut. MUI hanya mengharuskan para
pihak untuk melaporkan (ikhbar) perceraiannya ke Pengadilan Agama.
Memang,
MUI mensyaratkan talak di luar pengadilan harus mempunyai alasan syar’i yang
kebenarannya dapat dibuktikan di pengadilan. MUI memang juga merekomendasikan
agar pemerintah
bersama ulama melakukan edukasi kepada masyarakat untuk memperkuat lembaga pernikahan
dan tidak mudah menjatuhkan talak. Selain itu, MUI memang juga mengharuskan
bahwa jika suami menceraikan istrinya, maka ia harus menjamin hak-hak istri
yang diceraikan itu dan hak anak-anak mereka.
Namun, realita membuktikan bahwa pengakuan keabsahan
perceraian (talak) di luar pengadilan justru menyuburkan perceraian secara
sepihak oleh suami. Isteri yang berada dalam posisi yang lemah tidak mempunyai
daya tawar yang sebanding. Nantinya, Pengadilan Agama pun hanyalah berfungsi
sebagai pemberi stempel (legal formal) terhadap perceraian (talak) yang telah
terjadi di luar sidang. Suami dan isteri yang bersangkutan akan memahami bahwa
mereka secara agama ---sebagaimana menurut MUI--- telah absah bercerai. Mereka datang ke
Pengadilan Agama hanyalah untuk menyampaikan laporan (ikhbar).
Menurut hemat penulis, hasil Ijtima’ Ulama tentang
Talak di Luar Pengadilan ini merupakan langkah mundur dalam pembangunan hukum
Islam di Indonesia. Selama ini menurut hukum Islam di Indonesia sebagaimana
diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), UU Perkawinan, dan UU Peradilan
Agama, perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan. Itu pun
harus ada cukup alasan, bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup
rukun sebagai suami isteri (pasal 39 UU
Perkawinan).
Dalam hal ini, MUI tampak kembali ke pemahaman fikih
klasik, bahwa suami mempunyai hak mutlak untuk menjatuhkan talak kapan pun dan
di mana pun, bahkan tanpa seorang saksi pun. Hal itu berbeda dengan Hukum Islam (peraturan
perundangan) di Indonesia, bahwa cerai talak yang asalnya dalam fikih
klasik sifat perkaranya mirip volunter ditingkatkan menjadi gugat contentiosa
dengan ketentuan: suami sebagai pemohon yang berkedudukan sebagai
"penggugat" dan isteri sebagai termohon yang berposisi sebagai
"tergugat" dan proses pemeriksaannya berdasar atas asas audi et
alteram partem.
Dengan model dan sistem pembaharuan Hukum Islam di Indonesia seperti ini, maka kepentingan kedua belah pihak, terutama isteri dan
anak, bisa lebih terlindungi. Sehingga, perceraian di luar pengadilan apalagi lewat
SMS diharapkan tidak terjadi lagi karena umat sudah tercerahkan bahwa cerai
(talak) di luar pengadilan hukumnya adalah tidak sah dan tidak mempunyai
kepastian hukum. Wallahu a’lam.
Selengkapnya......